Jumat, 21 September 2012

TUGAS INDIVIDU II MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Pertanyaan :

     Pancasila mengandung nilai-nilai yang bersifat universal. Akan tetapi mengapa Pancasila tidak dapat diterima menjadi ideologi negara-negara barat? Jelaskan!

Jawaban : 

     Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dilahirkan oleh para pendiri bangsa. Sebagai sebuah ideologi, Pancasila memiliki nilai-nilai universal yang digali dari keluhuran nilai kehidupan bangsa Indonesia. Dengan kekuatan nilai yang terkandung itulah yang telah menempatkan ideologi yang berasaskan lima sila ini sebagai solusi keragaman bangsa Indonesia. Selama berpuluh-puluh tahun, Pancasila telah terbukti benar-benar sakti dan menjadi ideologi ideal yang bisa menjaga stabilitas dan keharmonisan kehidupan dalam berbagai segi. 
   Pancasila berada diantara dua ideologi besar dunia yaitu kapitalisme-liberal dan komunisme-sosialis. Ideologi Kapitalisme-liberal memiliki kecenderungan terlalu menjunjung hak individu. Sebaliknya, ideologi Komunisme-sosialis justru menghilangkan hak-hak individu. Pancasila menjadi jalan tengah yang memandang hak individu dan sosial secara seimbang. Manusia di satu sisi memang merupakan makhluk individu, tapi disisi lainnya manusia adalah makhluk sosial. Fitrah manusia tentu mencari keseimbangan dari keduanya, tidak berat sebelah mengasah salah satunya. Dan sekali lagi, ideologi tengah semacam itu ada dalam diri ideologi Pancasila. 
     Nilai-nilai Pancasila yang sesuai dengan fitrah manusia, tentu secara ontologis adalah universal, memuat berbagai keluhuran nilai kehidupan yang dapat diterima oleh masyarakat di dunia. Internasionalisasi nilai-nilai luhur Pancasila sesungguhnya telah terjadi. Soekarno sebagai pencetus Pancasila telah menjadi tokoh internasional yang dikagumi pemikiran ideologinya di banyak Negara di dunia. Pertanyaannya kemudian adalah “mengapa Pancasila hingga saat ini tidak diterima menjadi ideologi untuk seluruh negara di dunia?”. Berikut uraian singkat guna menjawab pertanyaan tersebut. 
    Sejarah telah membuktikan bahwa pengembangan ideologi secara epistemologi membutuhkan ‘kekuatan super’ dari Negara atau sekumpulan Negara yang menganut ideologi tersebut. Kekuatan yang dimaksud baik kuat secara politik, ekonomi maupun militer. Kapitalisme-liberal misalnya, bisa berkembang karena didukung kekuatan Amerika dan Sekutunya. Begitupun Komunisme-sosialis yang dahulu dikembangkan Uni Soviet. Tanpa kekuatan super tersebut sebuah ideologi secara epistemologi akan sulit diterima di seluruh dunia, meskipun secara ontologi sesungguhnya nilai-nilai luhur yang terkandung telah diakui dan diamalkan di seluruh dunia. 
     Dengan demikian jawaban untuk pertanyaan ‘mengapa Pancasila tidak dapat diterima di seluruh dunia?’, adalah karena Pancasila tidak disokong oleh sebuah ‘kekuatan super’ Negara di dunia. Seandainya suatu ketika nanti Pancasila ‘dijajakan’ oleh suatu ‘kekuatan super’, Amerika misalnya, niscaya Pancasila akan menjadi ideologi Internasional bagi seluruh bangsa-bangsa di Dunia. Internasionalisasi Pancasila secara epistemologi sesungguhnya tinggal menunggu ‘kekuatan super’ yang akan menyebarkannya.

Jumat, 07 September 2012

TUGAS INDIVIDU I MATA KULIAH FILSAFAT ILMU

Pertanyaan : Mengapa keadilan menjadi multi persepsi ? Manakah yang benar, keadilan yang universal atau keadilan yang multi persepsi ? Jelaskan dengan contoh ! Jawaban : Kata ‘Adil’ dalam Kamus besar Bahasa Indonesia bermakna (1) sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak (2) berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran (3) sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Sedangkan ‘Keadilan’ berarti sifat (perbuatan, perlakuan dsb) yang adil. Definisi adil dan keadilan di atas jelas merupakan barang yang abstrak yang pada asalnya mengandung nilai-nilai universal. Siapapun yang berfikir waras akan sepakat dengan berbagai frasa dalam definisi adil dan keadilan tersebut. Keadilan multi persepsi merupakan keadilan dengan banyak tafsiran. Penafsiran keadilan oleh setiap orang dibolehkan atas nama liberalisme pemikiran. Jika pemaknaan keadilan didasarkan pada pertimbangan nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya, tentu setiap orang akan memaknai keadilan secara benar. Menjadi persoalan ketika seseorang atas nama kebebasan berfikir memaknai keadilan tidak lagi didasarkan pada nurani, logika, akal sehat, rasa peduli dan semangat keterlibatan. Pertimbangan utama hanyalah hawa nafsu guna mendapatkan kemenangan dan kesenangan pribadi. Seseorang dengan latar belakang pengetahuan, kekayaan dan status social yang berbeda boleh menafsirkan makna keadilan yang berbeda pula. Liberalisme kognisi yang seperti inilah sesungguhnya yang menjadi penyebab utama keadilan menjadi multitafsir dan bergeser dari sifat fitrah universalnya. Pertanyaan tentang manakah yang benar, tentu keadilan universal yang didasarkan pada fitrah nurani dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi lebih benar-benar adil. Sebaliknya, keadilan yang ditafsirkan dengan dasar hawa nafsu menjadi adil bagi golongan tertentu yang memiliki kedudukan dan kekayaan lebih tetapi tidak adil bagi yang kekurangan. Contoh nyata yang marak terjadi di Indonesia adalah jamaah korupsiyah. Eksekutif, legislatif dan yudikatif pun kompak menjamaknya. Mereka adalah orang-orang yang hanya memikirkan keadilan individual. Limpahan harta kekayaan dianggapnya angin sorga yang berhembus kearahnya. Keadilan universal telah terhapus dari pandangan kognisinya. Ditambah lagi lemahnya penegakan hukum bagi pelakunya. Orang yang memiliki banyak uang akan dapat membeli kemenangan di pengadilan. Tawar menawar putusan adalah cerita yang sangat memilukan. Inilah buah pahit dari kata liberalisme kognisi. Hawa nafsu mengalahkan nurani. Persepsi mengalahkan universalitas. Semoga segera sadar dan berhenti. Amin.